Kaidah Ke-36 : Barangsiapa Merusakkan Barang Untuk Menghindari Bahaya, Maka Tidak Wajib Mengganti
QAWA’ID FIQHIYAH
Kaidah Ketiga Puluh Enam
مَنْ أَتْلَفَ شَيْئًا لِيَنْتَفِعَ بِهِ ضَمِنَهُ وَمَنْ أَتْلَفَهُ دَفْعًا لِمَضَرَّتِهِ فَلاَ ضَمَانَ عَلَيْهِ
Barangsiapa merusakkan suatu barang untuk ia manfaatkan maka ia wajib mengganti dan barangsiapa merusakkannya untuk menghindari bahaya yang mengancamnya maka tidak wajib mengganti
MAKNA KAIDAH
Secara hukum asal, setiap orang yang merusak atau menghancurkan barang orang lain, ia wajib menggantinya.[1] Sebagaimana hal ini telah ditunjukkan oleh dalil-dalil syar’i. Meskipun hukum asal ini tidak berlaku secara mutlak, dan dikecualikan darinya beberapa kondisi.[2]
Jika seorang sengaja merusak barang orang lain, maka tidak lepas dari dua keadaan. Adakalanya itu dilakukan karena darurat, dan adakalanya tidak. Jika ia merusak bukan karena alasan darurat maka ia wajib mengganti. Namun, jika ia merusaknya karena darurat maka tidak lepas dari dua keadaan pula. Pertama, ia merusaknya untuk memenuhi kebutuhan daruratnya, seperti orang yang sedang sangat lapar kemudian mendapatkan hewan ternak milik orang lain lalu ia sembelih dan ia makan. Kedua, ia merusaknya karena menghindar dari bahaya yang menyerangnya, misalnya orang yang diserang binatang milik orang lain dan ia berusaha mencegahnya sampai terpaksa membunuh binatang tersebut.
Untuk kasus pertama, dia wajib mengganti, sedangkan yang kasus yang kedua, tidak wajib mengganti.
DALIL YANG MENDASARINYA
Di antara dalil yang mendasari kaidah ini adalah firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil. [an-Nisâ’/4:29]
Demikian pula disebutkan dalam hadits Anas Radhiyallahu anhu :
عَنْ أَنَسٍ قَالَ : أَهْدَتْ بَعْضُ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَعَامًا فِي قَصْعَةٍ ، فَضَرَبَتْ عَائِشَةُ الْقَصْعَةَ بِيَدِهَا ، فَأَلْقَتْ مَا فِيْهَا ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : طَعَامٌ بِطَعَامٍ ، وَإِنَاءٌ بِإِنَاءٍ .
Dari Anas Radhiyallahu anhu ia berkata, “Salah seorang istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadiahkan kepada beliau makanan yang diletakkan di suatu wadah. Kemudian Aisyah memukul wadah itu dengan tangannya dan menumpahkan isinya. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Makanan diganti dengan makanan, wadah diganti dengan wadah.“[3]
CONTOH PENERAPAN KAIDAH
Kaidah ini mempunyai contoh penerapan yang cukup banyak sebagaimana dijelaskan oleh para Ulama’. Di antaranya :
1. Jika seseorang diserang, maka wajib bagi yang diserang untuk mencegahnya. Jika si penyerang sudah bisa dihentikan dengan dihardik, maka ia tidak boleh dipukul. Jika ia berhenti dengan dipukul, maka tidak boleh dilukai. Jika sudah berhenti dengan dilukai maka tidak boleh dibunuh. Jika tidak berhenti kecuali dengan dibunuh, maka ia boleh dibunuh dan orang yang diserang tidak wajib membayar diyat ataupun kaffarah. Karena ia membunuh tidak untuk mengambil manfaat darinya tetapi supaya terhindar dari bahaya penyerangannya.[4]
2. Seseorang yang sedang kelaparan lalu mendapatkan seekor hewan ternak milik orang lain lalu ia sembelih dan dimakan untuk menghilangkan rasa laparnya maka ia wajib menggantinya, karena ia menyembelih hewan tersebut untuk memanfaatkannya.[5]
3. Asalnya, seseorang yang sedang berihram tidak boleh berburu hewan.[6] Namun, jika ia diserang oleh shaid (binatang buruan) maka ia harus mencegahnya dengan cara paling ringan yang bisa mencegah hewan tersebut. Jika tidak bisa ditolak kecuali dengan membunuhnya maka tidak mengapa ia membunuhnya. Dan tidak ada kewajiban baginya untuk mengganti karena ia membunuhnya untuk menghindari bahaya yang mengancamnya.
4. Asalnya, seseorang yang sedang berihram tidak diperbolehkan untuk mencabut rambutnya. Namun suatu ketika jika ada rambut yang turun mengenai matanya sehingga menimbulkan rasa sakit di mata, dan tidak bisa menghilangkan sakit kecuali dengan mencabut rambut itu, maka hal itu diperbolehkan dan tidak ada kewajiban baginya membayar fidyah.
5. Apabila ada kaca yang jatuh dan akan menimpa seseorang, sedangkan tidak mungkin terhindar darinya kecuali dengan memecahkannya, maka boleh untuk memecahkannya, dan tidak ada kewajiban untuk mengganti atau membayar ganti rugi.
6. Jika seseorang diserang orang lain yang ingin merampas hartanya, sedangkan tidak mungkin dicegah kecuali dengan membunuh si penyerang, maka diperbolehkan untuk membunuhnya. Sebagaimana telah disebutkan dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu:
7.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ : جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَقَالَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ ، أَرَأَيْتَ إِنْ جَاءَ رَجُلٌ يُرِيْدُ أَخْذَ مَالِي ؟ قَالَ : ” فَلاَ تُعْطِهِ مَالَكَ ” قَالَ : أَرَأَيْتَ إِنْ قَاتَلَنِي ؟ قَالَ : ” قَاتِلْهُ ” قَالَ : أَرَأَيْتَ إِنْ قَتَلَنِي ؟ قَالَ : ” فَأَنْتَ شَهِيْدٌ ” ، قَالَ : أَرَأَيْتَ إِنْ قَتَلْتُهُ ؟ قَالَ : ” هُوَ فِي النَّارِ.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu ia berkata, “Ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika seseorang datang kepadaku untuk merampas hartaku?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jangan engkau berikan hartamu.” Ia bertanya lagi, “Bagaimana jika ia memerangiku?” Beliau menjawab, “Perangilah ia!” Ia bertanya lagi, “Bagaimana jika ia membunuhku?” Beliau menjawab, “Engkau mati syahid.” Ia bertanya lagi, ”Bagaimana jika aku membunuhnya?” Beliau menjawab, “Ia masuk neraka.”[8]
KETERANGAN TAMBAHAN
Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa seseorang yang merusakkan (menghancurkan) barang orang lain maka hukum asalnya ia wajib menggantinya. Namun ada beberapa keadaan yang dikecualikan. Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa ada tiga keadaan dimana seseorang tidak wajib mengganti barang yang ia rusakkan, yaitu :
1. Jika perusakan itu terjadi dalam rangka mencegah bahaya yang menyerangnya. Sebagaimana contoh-contoh di atas.
2. Apabila hal itu telah diizinkan oleh si pemilik barang. Misalnya, apabila si pemilik telah mengizinkan orang lain untuk memakan makanannya, atau menyembelih hewan ternaknya.
3. Apabila hal itu diizinkan oleh syari’at. Misalnya seseorang yang merusak alat-alat musik yang melalaikan dari dzikir kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala. Maka tidak ada kewajiban mengganti barang yang dirusakkan karena hal itu telah diizinkan oleh syari’at.[9]
Wallahu a’lam.[10]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XV/1432H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Hal ini berkaitan dengan hak Allâh Subhanahu wa Ta’ala maupun hak sesama manusia. Berkaitan dengan hak Allâh Subhanahu wa Ta’ala misalnya seseorang yang memburu hewan buruan di tanah haram atau seseorang yang berburu ketika dalam keadaan ihram. Dan berkaitan dengan hak sesama manusia misalnya seseoang yang mengambil harta orang lain untuk memenuhi kebutuhannya.. (Lihat Syarh Manzhumah Ushul al-Fiqh wa Qawa’idihi, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin, hlm. 231).
[2]. Penjelasan tentang beberapa keadaan yang dikecualikan tersebut akan disebutkan di akhir pembahasan.
[3]. HR. at-Tirmidzi dalam Kitab al-Ahkâm, Bab Maa jaa-a fiiman yuksaru lahu as-Syai’u, no. 1359.
[4]. Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin menjelaskan bahwa jika orang yang diserang khawatir jika ia berusaha mencegah dengan cara yang lebih ringan (tanpa membunuh) dikhawatirkan si penyerang akan mendahului membunuhnya, maka si terserang boleh mendahului membunuh si penyerang. Dan tidak ada kewajiban membayar ganti rugi atasnya. (Syarh Manzhumah Ushul al-Fiqh wa Qawa’idihi, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Cetakan Pertama, Tahun 1426 H, Dar Ibni al-Jauzi, Damam, Hlm. 232).
[5]. Sebagian ulama berpendapat bahwa apabila orang yang terpaksa mengambil hewan ternak itu adalah orang fakir, sedangkan si pemilik hewan adalah orang kaya, maka tidak ada kewajiban mengganti. Karena memberi makan kepada orang yang sedang kelaparan hukumnya fardhu kifayah. (Talqih al-Afham al-‘Aliyyah bi Syarh al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, Syaikh Walid bin Rasyid As Sa’idan, kaidah ke-17).
[5]. Sebagaimana disebutkan dalam QS. al Mâidah/5:95.
[7]. Jumhur Ulama berpendapat bahwa larangan mencabut rambut di sini mencakup seluruh rambut yang tumbuh di badan. Namun sebagian ulama berpendapat bahwa yang dilarang dicabut khusus rambut kepala saja. (Lihat Syarh Manzhumah Ushul al-Fiqh wa Qawa’idihi, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Cetakan Pertama, Tahun 1426 H, Dar Ibni al-Jauzi, Damam, Hlm. 231)
[8]. HR. Muslim dalam Kitab al-Imaan, Bab ad-Dalil ‘ala Anna Man Qashada Akhdza Maali Ghairihi bi Ghairi Haqqin, no. 308.
[9]. Hal ini tentu tetap dikaitkan dengan kaidah-kaidah dalam amar ma’ruf nahi munkar sebagaimana dijelaskan oleh para ulama’, di antaranya tidak boleh mencegah suatu kemungkaran jika akan menimbulkan kemungkaran yang lebih besar. (Lihat Syarh Manzhumah Ushul al-Fiqh wa Qawa’idihi, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Cetakan Pertama, Tahun 1426 H, Dar Ibni al-Jauzi, Damam, Hlm. 231-234).
[10] Diangkat dari al-Qawa’id wa al-Ushul al-Jami’ah wa al-Furuq wa at-Taqasim al-Badi’ah an-Nafi’ah, Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, Tahqiq Syaikh Dr. Khalid bin Ali bin Muhammad al-Musyaiqih, Cetakan kedua. 1422 H/2001 M, Dar al-Wathan li an-Nasyr, Riyadh, Hlm. 88. Dengan beberapa tambahan dari referensi lainnya.